Rabu, 18 Juli 2012

Jiwa Aktivis Dan Pragmatis


Aktivis adalah sebutan lain bagi mahasiswa yang dirinya selalu aktif di organisasi, baik itu organisasi intra maupun organisasi ekstra. Namun, ada juga dari sebagian mahasiswa yang hanya datang, pulang dan pergi ke kampus layaknya “seekor kupu-kupu” sebatas hanya duduk manis di kelas menerima materi dari dosen juga mengerjakan dan mengumpulkan tugas yang telah diberikan oleh dosen di kampusnya.
Banyak orang bilang, seorang aktivis harus mampu menjalani hidup tanpa tergantung pada sesuatu “oran lain”. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pembicaraan bagi orang banyak, lalu bagaimanakah kaum-kaum aktivis ini menjalani hidup sedangkan mereka tidak bekerja dan tidak pula di gaji namun di dalam jiwa mereka hanya tertanam satu niatan untuk organisasinya dan suatu kepentingan menyangkut orang banyak, tidak banyak kaum-kaum aktivis di negeri ini bahkan sangat memprihatinkan ketika melihat fakta di lapangan mereka di ibaratkan seorang pengemis yang kehidupannya tergantung pada adanya bantuan dari orang lain, dan hampir semua kaum-kaum aktivis melakukan sebuah komunikasi politik baik itu dengan pemerintah maupun perorangan melalui kegiatan organisasinya dan bisa dikatakan pragmatisme.
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “Pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan, “Isme” yaitu sebuah aliran atau faham, dengan demikian dapat diartikan bahwa yang di maksud dengan pragmatisme adalah suatu aliran atau faham yang menekankan pada suatu tindakan nyata dengan kriteria kebenarannya adalah mengandung sebuah faedah dan manfaat bagi dirinya, suatu teori atau hipotesis dianggap oleh faham pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain teori itu akan benar apabila teori tersebut dapat di aplikasikan dalam kehidupan yang nyata dan membuahkan hasil serta manfaat bagi dirinya.
Dalam dunia aktivis, mahasiswa adalah manusia paripurna (manusia yang sempurna). Mahasiswa sebagai agen of change juga sebagai agen of control, selain itu mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab moral terhadap bangsa dan negara ini dalam mengawali sebuah perubahan yang baik bagi masyarakat indonesia, yang di anggap sebagai generasi penerus bangsa, namun dalam prakteknya mahasiswa pasca reformasi pemerintahan soeharto muncul banyak komunitas-komunitas kecil yang tergabung dalam organisasi kepemudaan sampai keranah organisasi perpolitikan, dan kemudian munculah sebutan aktivis sebagai karakter dari mahasiswa yang aktiv dalam kegiatan organisasi, mereka menginginkan dirinya juga diakui oleh masyarakat luas, namun seiring dengan perkembangan zaman mahasiswa yang menyatakan dirinya sebagai aktivis kampus mulai dihadapkan pada suatu kondisi krisis kepercayaan terhadap tanggung jawab dalam mengemban sebuah amanah dalam oraganisasinya, aktivis mulai mencari keuntungan dari organisasi akibat dari faktor komunikasi politik dengan para kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan di negara ini, dengan cara menjual organisasinya hanya untuk mencari keuntungan yang bersifat kepentingan pribadi, sehingga kondisi seperti ini berdampak negatif bagi organisasi yang seharusnya menyangkut kepentingan orang banyak namun berubah menjadi kepentingan pribadi, program kegiatan organisasi hanya di jadikan sebuah sarana untuk mencari keuntungan baik itu kepada pemerintah maupun perorangan yang kemudian dapat memberikan keuntungan timbal balik baik itu bagi aktivis maupun kepada pemerintah, komunikasi yang di lakukan oleh aktivis dalam mencari keuntungan lewat organisasi adalah komunikasi inter personal yang kemudian di jadikan sebuah alasan sebagai kepentingan organisasi, padahal itu semua adalah kepentingan pribadi aktivis yang bersifat pragmatis oleh karena itu sifat pragmatis aktivis dalam organisasi pasti selalu ada karena bagi aktivis organisasi adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan pribadinya yang bersifat individual.
Sebuah pengalaman pribadi atau survey dilapangan yang tidak pernah di lupakan oleh para aktivis pasti mereka tidak bisa dilepaskan dari namanya proposal kegiatan dari organisasi, aktivis mana yang dalam hidupnya ketika di organisasi tidak pernah membuat atau membawa proposal. Karena memang organisasi dan aktivis tergantung pada hasil proposal, artinya proposal di jadikan sarana administrasi untuk menggalang dana organisasi dari pihak-pihak tertentu, baik kepada instansi pemerintah, anggota DPR maupun perusahaan, itulah yang kemudian menjadi kebiasaan di kalangan aktivis sampai saat ini, pertanyaannya adalah apakah bisa organisasi dan aktivis tanpa proposal, saya kira tidak akan bisa karena proposal adalah syarat utama untuk mendapatkan dana dari pihak tertentu, makanya aktivis yang pandai dalam membuat proposal sedikit banyak mereka pasti pernah pragmatis, artinya mereka pasti pernah mengambil keuntungan dari hasil proposal organisasi entah sedikit dan banyak pasti pernah melakukannya, biasanya tindakan ini sudah terstruktur secara sistematis jadi tidak ada kata-kata korup di dalamnya yang terlibat di dalamnya bukan hanya satu dan dua orang saja namun sudah menyangkut orang banyak, tindakan seperti itu adalah motif yang mendekatkan diri pada tindakan korup menyalahgunakan anggaran yang seharusnya untuk kegiatan organisasi tapi malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.




Selasa, 26 Juni 2012

Individualisasi Perjuangan Politik Menghilangkan Ruh Demokrasi Yang Sebenarnya


Pengertian Pemilu Menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia adalah negara demokrasi yang sistem politiknya dalam peralihan kekuasaan (pemilu) menggunakan sistem partai. Dalam ketentuan Umum Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilu menegaskan peserta pemilu adalah partai politik kecuali calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah calon perseoranga. Itu berarti dalam sistem politik Indonesia, peran partai politik sangat sentral dalam pelaksanaan kekuasaan politis. Partai politik bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh kader politiknya yang duduk di kursi legislatif atau eksekutif. Partai politik harus meminta pertanggungjawaban kader politiknya dalam setiap keputusan publik yang diambil oleh kadernya. Tujuan pertanggungjawban ini adalah agar kebijakan publik yang diambil itu sesuai dengan ideologi partai dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat seluruhnya serta menjunjung tinggi nilai keadilan.
Individualisasi perjuangan politik sebagaimana yang terjadi dalam pemilu 2009 lalu tentu melemahkan fungsi partai politik. Individualisasi perjuangan politik sebagai ekspresi dari gagalnya partai politik untuk menghasilkan kader politiknya yang berkompeten bukan tidak mungkin akan mengubah figur politik menjadi sistem partai. Artinya, karakter calon yang mempunyai popularitas tinggi akan berubah menjadi sistem partai dan budaya organisasi. Sistem partai melemah dihadapan figur politik. Partai politik bukan lagi merupakan mesin yang menghasilkan calon-calon pemimpin melainkan sarana yang mengabdi pada figur politik.
Kelemahan dasar dari sistem seperti ini adalah figur yang tampil ke publik adalah figur yang berkarakter otoriter. Figur yang tidak tahan terhadap kritik. Sebab dalam partai politik, karakter pribadinya berubah menjadi sistem partai dan pola organisasi sehingga hampir pasti tidak ada kritik terhadapnya. Selain itu, sistem ini juga berdampak pada peran partai politik melemah dalam meminta pertanggungjawaban kadernya dalam setiap kali kebijakan publik yang diambil. Hal ini memberi kesempatan bagi terciptanya pemimpin yang totaliter.
Individualisasi perjuangan politik juga merupakan suatu proses pembodohan terhadap masyarakat. Partai politik gagal memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Individualisasi perjuangan politik tentu menjauhkan masyarakat dari pemahaman politik Indonesia yang menggunakan sistem partai politik. Melalui individualisasi perjuangan politik,  masyarakat justeru dimanipulasi demi tujuan kekuasaan elite politik. Masyarakat  dibiarkan terkapar dalam kebodohan di pinggir persaingan merebut kekuasaan kaum elit sambil menunggu digiring ke balik bilik suara. Jadi, individualisasi perjuangan politik sesungguhnya adalah pintu bagi masuk dan berkembangnya karakter pemimpin yang totaliter, pembodohan teradap masyarakat dan pengkianatan terhadap demokrasi.
Dalam bingkai individualisasi perjuangan politik ini, demokrasi dibajak maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Popularitas ini jarang dibangun dari keringat kerja politik, melainkan melalui iklan politik belaka. Kolektivitas politik demokrasi dirobek oleh individualisasi perjuangan politik sebagaimana tampak dalam pemilu 2009 yang lalu. Ketika kolektivitas politik dirobek oleh individualisasi perjuangan politik maka demokrasi yang tersisa hanyalah demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural mengandung dua ancaman yang sama latennya. Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti demokrasi. Kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis tetapi setelah kekuasaan demokratis itu diperoleh konstituennya dipinggirkan dari arena kekuasaannya. Kedua, demokrasi dibelenggu oleh orang-orang yang berduit di mana relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi.  
Pemilu yang dilaksanakan di  Indonesia sebagai negara demokrasi mesti mengedepankan kolektivitas perjuangan politik dalam bentuk partai politik. Dinamika politik di Indonesia mesti mengefektifkan fungsi partai agar pemilu Indonesia tidak terjebak dalam demokrasi prosedural. Persaingan politik yang mengedepankan sistem partai politik dari pada figur politik dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan dalam tata cara berorganisasi dalam tubuh partai politik di Indonesia agar partai politik bisa menjalankan perannya sesuai dengan harapan masyarakat. Individualisasi perjuangan politik mengartikulasikan lemahnya pengelolaan partai politik di Indonesia, terutama partai politik peserta pemilu 2009 lalu.
Dan kita berharap untuk pemilu yang akan datang, setiap partai politik harus melakukan re-evaluasi mengenai  sistem atau karakter individualis perjuangan politik yang diterapkan setiap partai pada pemilu tahun-tahun lalu. Hal ini dilakukan demi kelancaran dan kedamaian serta menjujung tinggi nilai demokrasi dalam dunia perpolitikan Indonesia.

Senin, 28 Mei 2012

Memudarnya Ruh Nasionalisme Bangsa


Irvanuddin

Bendera negara kita yang begitu diperjuangkan para pendahulu kita memang hanyalah kain merah dan putih.
Tapi apakah hanya sebatas itu?
Jawabanya adalah TIDAK!
Sekali lagi TIDAK!
Saat ini kita telah diberi kebebasan memberi hormat kepada bendera, tanpa ada batasan maupun larangan. Bayangkan saja ketika dulu kita  terancam dibunuh kaum penjajah kalau kita memasang bendera merah putih, apalagi menghormatinya. Namun sekarang kita tidak perlu khawatir akan adanya peluru yang datang dari kiri-kanan kita jika kita menghormati bendera kita.
Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang secara singkat disebut Bendera Negara, adalah ‘Sang Merah Putih’. Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang.
Namun bangsa ini seakan kehilangan jati dirinya. Semua dianggap dapat dibayar dengan uang. Korupsi dimana-mana, keadilan selalu hanya tajam kebawah, penjajahan ekonomi asing merajalela. Bahkan banyak orang mulai melupakan hakikat Pancasila dan Sang Merah Putih. Hal inilah yang membuat bangsa ini memiliki krisis nasionalisme di pikiran pikiran rakyatnya.
Memang tidak ada lagi pekikan kata “MERDEKA!!!” yang diteriakkan oleh rakyat di jalan-jalan. Karena memang bangsa kita telah merdeka dari penjajahan kolonial. Baiklah, memang kata itu mungkin sudah tidak cocok diucapkan selain di masa – masa peringatan proklamasi. Tetapi, apakah dengan mulai redupnya kata itu, kita juga kehilangan rasa nasionalisme kita.
Kurangnya nasionalisme dan hilangnya spirit kemerdekaan di kalangan generasi penerus bangsa saat ini ternyata membawa dampak atau pengaruh yang cukup besar terhadap keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang ini. Berbagai pengaruh globalisasi dan informasi dan kurangnya pendidikan fisik terutama di bidang kesejarahan seakan menjadi ancaman serius bagi generasi muda dalam memaknai dan menggelorakan semangat kemerdekaan di dalam jiwa mereka.
Salah satu faktor penyebab utama dari memudarnya semangat nasionalisme dan kebangsaan dari generasi penerus bangsa yaitu diberikanya contoh yang salah dan kurang mendidik yang diperlihatkan generasi tua atau kaum tua yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada mendahulukan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Mereka seakan larut dalam euforia untuk mensejahterakan diri sendiri tanpa melihat bagaimana fenomena yang terjadi di negara kita sekarang ini. Pengaruh kemiskinan yang sekaligus berimbas kepada kebodohan bangsa belum menjadi perhatian serius dari generasi tua atau para elite-elite politik bangsa ini.
Kendatipun demikian, pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang mulai merebak di negara kita juga menjadi momok yang sangat menakutkan bagi generasi muda. Mereka sudah mulai meninggalkan kebudayaan asli Indonesia dan itu diperkuat lagi dengan semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak luar atau bangsa asing. Generasi muda seakan telah meninggalkan ciri khas kebangsaan dan mulai terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai seluruh aspek kehidupan di negara kita.
Adapun pengaruh lainnya dari hilangnya spirit kemerdekaan di dalam jiwa generasi muda adalah kegagalan pemerintah dalam menumbuhkan sikap cinta tanah air lewat pendidikan fisik (physic education) terutama melalui pendidikan sejarah. Pemerintah mulai melupakan bagaimana perjuangan rakyat Indonesia tempo dulu dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Sehingga romantika kesejarahan ini tidak lagi dirasakan oleh generasi muda sekarang ini, akibat tidak adanya pendidikan khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada mereka. Pemerintah hanya mementingkan ideologi para penguasa namun kurang peduli terhadap masa depan bangsa dan rakyatnya sehingga rasa kebangsaan (nation) tidak terlihat dari generasi penerus bangsa sekarang.
Untuk itu, pemerintah hendaknya perlu mawas diri dan melakukan koreksi atau evaluasi diri dalam melakukan tindakan serta mulai memberdayakan generasi muda penerus bangsa supaya dapat memaknai arti dari Kemerdekaan Republik Indonesia. Disamping itu, pemerintah juga diharapkan tidak lagi menonjolkan egoisme pribadi dan golongan. Akan tetapi mulai peduli terhadap kepentingan rakyat dan bangsanya dan mulai memberikan tempat atau porsi lebih kepada pendidikan fisik bagi generasi muda. Contohnya pendidikan kewarganegaraan (PKN) dan tidak lagi mengalami intervensi dari pihak manapun juga. Sedangkan bagi generasi muda penerus bangsa juga harus mengetahui dan merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya dan tidak mudah terpengaruh dengan era globalisasi dan informasi yang semakin hari semakin canggih dan berkualitas tinggi.
Kita berharap, para pemimpin negeri ini dapat mendengar dan melihat keadaan rakyat sekarang ini. Agar para pemimpin lebih berhati nurani dan mementingkan kejahteraan rakyat dan negara. Kata merdeka sangat bermakna sekali, karena identik dengan kebebasan, walau tak sama. Merdeka adalah bebas dari kesewenang-wenangan, bebas dari kemunafikan, dan bebas dari ketidakadilan.







Minggu, 27 Mei 2012

Indonesia Kaya Raya "Rakyatnya Menderita"


Irvanuddin
Indonesia merupakan sebuah negara kaya akan sumber daya alam, mempunyai posisi yang sangat strategis, dengan jumlah penduduk sangat menakjubkan yang menjadi potensi untuk kemajuan sebuah negara.
Tapi kenyataannya negara ini dipenuhi oleh kemiskinan. Kemiskinan ekonomi rakyat, kemiskinan moral, kemiskinan penegakan hukum, kemiskinan etika politik.
Bila anda ditanya, Apa yang anda ketahui tentang Indonesia?
Pastinya dengan spontan anda akan menjawab, Indonesia terkenal dengan kekayaan alam, kekayaan budaya & keanekaragamannya.
Negara Indonesia memang sangat terkenal akan kekayaan alam yang dimiliki, terdiri dari banyak pulau dan jutaan penduduk yang semestinya menjadikan modal yang baik bagi bangsa ini untuk menjadikan penduduknya damai dan sejahtera, tapi semua itu belum terjadi saat ini, penduduk Indonesia masih banyak yang hidup dibawah kesejahteraan bahkan bisa dikatakan masih sangat memperihatinkan. Bangsa yang kita cintai ini semakin hari, semakin terus dijajah oleh negara-negara lain. Karena negara-negara lain sangat mengerti dengan keadaan ekonomi global yang berkembang dengan begitu pesatnya.
Namun yang kita sayangkan adalah banyaknya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan semena- mena memanfaatkan kekayaan Indonesia dengan ke-egois-annya sendiri. Faktor inilah yang mangkibatkan kemiskinan meraja lela di Negara Indonesia yang kita cintai ini, bahkan pengangguran bertaburan dimana-mana.
Padahal kalau dibilang Indonesia yang kaya akan segala hal bisa menambah peluang kerja dan segala macam aspek usaha yang bisa dikerjakan. Memang pada dasarnya mungkin orang Indonesia yang “malas” untuk mengembangkannya.
Dari pengertian yang kita dapat tentang Indonesia. Maka seharusnya ada perhatian yang lebih untuk Indonesia selanjutnya, seperti menanamkan kejujuran pada masing – masing pribadi, menjauhi dari tindakan korupsi, mempunyai pola pikir yang positif, serta logika yang sehat.
Memang menjadikan sebuah negara menjadi satu kesatuan yang solid yang memiliki stabilitas nasional yang bagus dengan proses kesadaran rakyat dan pemerintah tidak semudah membalikkan telapak  tangan, akan tetapi tidak sesulit menguras air di lautan. Hal itu membutuhkan kerja sama antara individu yang saling bersinergi serta menghasilkan power untuk membangun sebuah negara dari seluruh aspek kehidupan.
Karena hakekat utama manusia adalah Zoon Politicon yang tidak bisa hidup sendiri sekaligus membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari hal ini lahirlah interaksi-interaksi sosial antara manusia dengan yang lain di segala dimensi kehidupannya. Sehinga, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang adil dan memiliki integritas untuk mengatur interaksi tersebut, dengan negara sebagai wadahnya, dan undang-undang sebagai pagarnya.
Jika negeri Indonesia ini kita umpamakan sebagai sebuah kapal, maka pemimpin Negara “Presiden” adalah nahkodanya dan  undang-undang adalah aturan dalam kapal tersebut. Sang nahkodalah yang menentukan kemana arah kapal akan berlayar. Begitu juga pemimpin yang paling berkuasa menetukan jalannya pemerintahan dalam suatu negara.
Untuk itu, mari kita satukan visi dan misi kita. Bagi generasi muda, mari kita bekerjasama dan sama-sama bekerja untuk mengembalikan Indonesia menjadi Negara yang bermartabat dan diperhitungkan di mata dunia “Internasional”, walaupun usaha yang kita tempuh tidaklah mudah.




Sabtu, 26 Mei 2012

Merubah Paradigma Dengan Falsafah "Buang Rasa Gengsi"

Irvanuddin
Apakah Anda pernah mengalami keadaan dimana Anda merasa tidak mampu mengatasi suatu permasalahan yang cukup berat, namun Anda dituntut untuk segera mungkin menyelesaikan masalah tersebut?
Atau mungkin Anda pernah merasa bahwa kegagalan Anda disebabkan oleh keadaan yang tidak mendukung Anda?
Mungkin Anda perlu memahami bahwa sebenarnya Anda memiliki kekuatan berpikir yang dapat merubah suatu paradigma.
Apa itu paradigma?
Paradigma adalah suatu pola pikir atau cara pikir dalam menghadapi sesuatu. Paradigma juga bisa diartikan sebagai cara berpikir yang telah mengakar pada diri seseorang atau sekelompok orang yang terbentuk berdasarkan kebiasaan – kebiasaan umum (Pop Culture). Paradigma merupakan cara pandang seseorang dalam mengahadapi rentetan kejadian dan pengalaman yang terjadi sepanjang hidupnya.
Kadang Anda merasa gagal melakukan sesuatu, seperti saat Anda belum berhasil dalam mendapatkan lapangan kerja lalu kita menyerah atau mulai menyalahkan nasib yang tidak berpihak pada Anda. Sebenarnya bukan karena nasib, tapi lebih karena Anda tidak bisa merubah paradigma berpikir Anda yang salah karena paradigma merupakan adalah alasan yang memberikan dorongan bagi Anda dalam berperilaku.
Mungkin Anda yang baru saja menyelesaikan masa pendidikan mulai merasa frustrasi karena tidak juga mendapat pekerjaan, cobalah berpikir positif bahwa mungkin saat ini Anda perlu menghabiskan waktu dengan keluarga, mengingat ketika masa pendidikan, Anda kurang memiliki waktu berkualitas dengan keluarga Anda. Di saat Anda telah berhasil merubah paradigma berpikir ke arah yang positif, maka Anda tidak akan melihat sebuah hal yang sulit sebagai suatu masalah dalam hidup Anda. Jika Anda mampu merubah paradigma berpikir, maka Anda akan melihat permasalahan hidup Anda sebagai suatu hal yang wajar. Bagi Anda, masalah adalah suatu hal yang biasa terjadi dan dapat dengan mudah menyelesaikannya.
Banyak kita lihat lulusan Sekolah Menengah, Diploma, Sarjana, Master bahkan Doktoral yang pintar-pintar setelah tamat sekolah jadi “pengacara” alias Pengangguran nggak ada acara.
Kalau ditanya kenapa mereka memilih pengangguran, kebanyakan mereka mengatkan susah mencari pekerjaan..
Betulkah pekerjaan susah dicari??
Sebetulnya tidak juga, yang nama nya pekerjaan itu sangat banyak dan tidak akan pernah habis. Hanya saja banyak lulusan yang berstatus pengacara lebih memilih menunggu lowongan PNS atau lowongan dari perusahaan swasta.
Hidup ini bergerak dari pilihan ke pilihan, kita dikasih Tuhan hak untuk memilih, pekerjaan bidang apa yang ingin kita tekuni. Karena dengan menekuni suatu bidang pekerjaan sampai membuat kita menjadi paling ahli di bidang tersebut, akan membuat kita lebih bernilai di mata orang lain.
Banyak hal penyebabnya salah satu nya adalah gengsi.
Padahal kita lihat banyak lahan-lahan produktif belum difungsikan, banyak SDA yang belum diproses, banyak pekerjaan-pekerjaan yang orang menganggap sebelah mata, tapi disitu ada celah untuk mendapatkan uang yang lebih besar dari gaji seorang PNS atau gaji karyawan swasta, misalnya: menjadi penjual bubur, berdagang bakso, pengumpul barang bekas kemudian dibudidayakan, sales industri kecil dan menengah, industri kreatif, dll.
Dari kecil orang tua kita sering mengatakan, rajin belajar agar bisa sekolah di sekolah yang bagus atau sekolah negeri, misal waktu SD disuruh rajin belajar agar diterima di SMP negri, kemudian di SMP diminta rajin belajar agar diterima di SMA negri, ketika SMA kita dimotivasi untuk belajar lebih giat lagi agar bisa di terima di PTN, waktu di PTN kita diminta serius kuliah agar bisa diterima kerja di tempat yang bagus. Berita buruk nya, jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang mencari pekerjaan. Gap nya pun sangat besar. Ketika di bangku sekolah sampai kuliah ada parameter untuk menilai keberhasilan kita misal ada Rapor di sekolah dan IP di Perguruan Tinggi.
Kita tidak menyalahkan harapan orang tua, hanya saja kita harus melihat dengan rasional antara harapan dengan realita, paradigma yang salah akan menyebabkan kita menjadi kebingungan, waktu sekolah ada target yang akan kita raih (lulus di Sekolah Negri) dan ada nilai untuk mengukur kemampuan kita (rapor dan IP). Ketika tamat kuliah dengan nilai bagus dan mungkin dari PT bergengsi, tapi dewi fortuna belum memihak kepada kita sehingga belum memperoleh pekerjaan yang menurut kita cukup ideal.
Sebenarnya apa yang salah?
Kita lihat paradigma kita, setelah tamat sekolah atau kuliah kita ingin mendapat pekerjaan di tempat yang cocok menurut imajinasi kita, realita nya tidak sesuai harapan. Artinya disini kita harus merubah paradigma kita dari “mencari pekerjaan” menjadi “mencari uang”.
Bukan kah tujuan kita bekerja untuk mendapatkan uang?
Ketika kita memikirkan bagaimana mendapatkan uang, maka akan banyak jalan yang kita lihat dan terbuka. Tinggal menanggalkan baju gengsi tadi, kemudian agar kita bisa berjalan dalam garis tujuan kita, ideal nya kita harus banyak bermimpi besar, tuliskan mimpi-mimpi besar tersebut kapan kita ingin meraihnya, apa usaha untuk bisa mewujudkannya, berapa besar biaya agar mimpi itu jadi nyata, siapa orang-orang yang bisa membantu kita untuk mempercepat mimpi itu jadi realita, dan ada batas waktu untuk menggapai mimpi itu.
Dari sekarang mari kita tulis tujuan hidup kita menurut mimpi-mimpi besar kita, dan mimpi-mimpi besar kita yang kita tulis itu, harus kita baca sebanyak mungkin setiap hari agar tertanam di alam bawah sadar kita, sehingga memacu adrenalin kita untuk lebih kreatif, mulai lah merubah paradigma dengan mencari uang dan menanggalkan gengsi yang menghambat langkah kita untuk berhasil.
Kemudian agar kita lebih selektif dan tidak tergoda dengan berbagai rayuan dari luar, mari kontrol diri kita dengan membuat laporan keuangan sehari-hari atau biasa disebut cashflow untuk pengganti rapor kita waktu di sekolah dulu. Insya Allah dalam 5 tahun atau 10 tahun kedepan kita akan kaget dengan pencapai-pencapaian besar kita.
Jangan lupa belajar lah pada ahlinya yang lebih dahulu melakukannya untuk bidang yang kita minati, karena kita ini hanya mengikuti jejak-jejak pendahulu-pendahulu di bidang tersebut.
Intinya Dengan mengubah paradigma Anda akan lebih mudah dalam membongkar suatu masalah dan mencari jalan keluarnya. Anda akan menjalani hidup dengan lebih mudah, apapun kondisinya.



Jumat, 25 Mei 2012

Hasil UN "Tidak Bisa Menjadi Pedoman"


Dokumentasi UN 2012

Tingginya nilai standar kelulusan Ujian Nasonal, UN pada tahun ajaran 2011-2012, yakni dengan nilai terendah lima koma lima, untuk tingkat SMP, dan SMA, kini telah menjadi momok yang menakutkan  bagi setiap para siswa. Pasalnya dari penetapan standart nilai kelulusan ini, tidak sedikit siswa mengalami ketakutan, bahkan  stress.
Untuk selanjutnya disarankan agar pada tahun ajaran berikutnya, keputusan standar kelulusan ditentukan oleh dewan guru sekolah yang bersangkutan, sedangkan nilai standar Ujian Nasional hanyalah untuk membedakan kualitas nilai siswa. Karena selama ini, seolah-olah kelulusan para siswa hanya di tentukan oleh mata pelajaran yang diujikan dari pemerintah pusat.
Kemdikbud seharusnya mau merendahkan hati dan mempelajari akar permasalahan UN dengan seksama. Dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan merupakan momok dan pemicu terbesar terjadinya kecurangan. Terlebih, pembangunan pendidikan nasional yang belum dilakukan secara merata membuat banyak daerah tertinggal terpaksa curang demi memenuhi target kelulusan. Masalah menyontek tidak hanya melibatkan siswa, tapi juga para kepala daerah yang tidak ingin hasil UN di daerahnya rendah. Sehingga buntutnya, banyak kepala sekolah dan guru yang terpaksa terlibat dalam praktik kecurangan UN demi mencapi target yang telah ditentukan.
Hari ini sabtu 26 Mei 2012 tepat dimana pengumuman hasil ujian tingkat SMA dan sederajatnya seluruh Indonesia diumumkan. Maka secara langsung atau tidak langsung pihak sekolah, baik kepala sekolah, dewan guru dan siswa serta orang tua siswa mengalami saat-saat yang mendebarkan. Mengapa demikian?, ini dikarenakan mereka was-was dengan pengumuman hasil ujian siswa atau anak mereka kalaulah tidak lulus.
Kendatipun demikian presentase kelulusan yang tinggi tidak akan menjadi jaminan kwalitas dari peserta didik. Hal inilah yang harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk tidak selalu menentukan kelulusan siswa di negeri ini. Karena setiap daerah tidak sama antara sekolah satu dengan sekolah yang lainya “fasilitas, SDM pendidik, metode dan sarana prasarananya yang lainya”. Pemerintah dalam hal ini Mendikbud seharusnya menyerahkan penentuan nilai standarisasi kelulusan kepada pihak sekolah masing-masing, karena pihak sekolahlah yang mengetahui kemampuan siswanya masing-masing.



Kamis, 24 Mei 2012

Hilangnya Ruh Demokrasi "Demokrasi Dapat Dibeli Dengan Uang"


Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).
Demokrasi bisa juga diartikan sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di suatu negara yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti feodalisme dan anti imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Landasan dari demokrasi adalah keadilan, dalam artian terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
Namun seiring berjalanya waktu, sistem demokrasi yang ada di Indonesia sudah kehilangan arah tujuan demokrasi yang sebenarnya. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ruh dari demokrasi di negeri ini mulai sirna dan terkesan kehilangan eksistensinya  
Menurut hemat saya, ada dua faktor yang menyebabkan demokrasi bisa mengalami kegagalan, yaitu:
1.      Disfungsionalitas
2.     Degenerasi atau pembusukan dari dalam yang terus menerus secara gradual namun pasti yang pada akhirnya membuat demokrasi gagal.
Dalam 14 tahun terakhir ini, Indonesia masih terus menapaki jalan demokrasi. Dalam mengevaluasi proses perjalanan itu, ada dua pendapat besar yang selalu muncul dan mengemuka: 
Pertama, mereka yang beranggapan bahwa proses demokrasi kita sudah mengarah pada kemajuan dan, karena itu, akan menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia.
Kedua, demokrasi kita sekarang ini berjalan pada arah yang salah, sudah kebablasan, sehingga perlu dikoreksi kembali.
Demokrasi yang disfungsionalitas tidak memberi manfaat dan sering diikuti delegitimasi atau hilanganya kepercayaan rakyat. Sejak satu dekade terakhir, ekspektasi rakyat terhadap kemajuan demokrasi semakin nihil. Sekarang ini muncul sebuah gejala yang sangat umum dan nyata; krisis kepercayaan terhadap politik, partai dan politisi.
Akan tetapi, kenyataan itu justru memperkuat pernyataan bahwa demokrasi liberal memang diperlukan untuk menjaga kelangsungan neoliberalisme. Jika kediktatoran militer memukul partisipasi rakyat dengan kekerasan, maka demokrasi liberal menjauhkan rakyat dari politik dengan menebarkan apatisme dan sinisme terhadap politik. Artinya, proses ketidak-percayaan rakyat terhadap demokrasi yang kian besar itu adalah sebuah kondisi yang diperlukan oleh sistem neolibralisme untuk tetap bekerja.
Apabila mekanisme seperti tadi masuk dalam ranah politik, maka demokrasi akan kehilangan alasan eksistensinya. Begitu suara rakyat dikemas menjadi komoditi ekonomi yang ditawarkan maka demokrasi kehilangan landasan idealnya. Vox populi vox dei tidak berlaku lagi.
Kini, mereka calon para pemimpin-pemimpin atau wakil rakyat mestinya merayakan lahirnya kompetisi politik yang tidak dilandasi oleh seperangkat ide dan gagasan, melainkan oleh uang dan penampilan verbalistik semata. Bukankah itu yang mereka inginkan? Matinya nasionalisme, sosialisme, fundamentalisme, dan semua isme-isme yang menghalangi kapitalisme.
Dulu, di tahun 1959, Bung Karno mengutuk demokrasi liberal. “Bukan free fight liberalism yang harus kita pakai, melainkan suatu demokrasi yang mengandum manajemen menuju arah mencapai tujuan yang satu, yaitu masyarakat keadilan sosial,” begitu kata Bung Karno.
Keberadaan partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Dalam struktur negara yang mengadopsi demokrasi keberadaan parpol tidak bisa diabaikan peran dan fungsinya.
Saat ini setiap parpol sedang sibuk mempersiapkan administrasi sebagai syarat sebagai bakal calon anggota legislatif, mulai DPRD Kab/Kota, DPRD Propinsi maupun DPR.
Beberapa penelitian yang disebutkan dalam media masa menyebutkan DPRD/DPR merupakan salah satu lembaga sarang koruptor di negeri ini, sehingga masyarakat sudah mulai acuh terhadap keberadaan parpol. Sekalipun tidak semua parpol tetapi masyarakat kita sudang terlanjur menge'cap' anggota dewan semua sama. Ketidak percayaan masyarakat ini berdampak pada sikap acuh masyarakat untuk terlibat dalam setiap event pemilihan (baik pemilu raya, pilbub, pilgub). Banyak media masa menyebutkan di beberapa tempat berlangsungnya pilbup maupun pilgub yang terjadi diberbagai daerah  banyak diwarnai oleh politik uang, uanglah yang menjadi panglima.untuk memenangkan sebuah event pemilihan selalu diukur dengan seberapa banyak uang yang dimiliki oleh calon Bupati/Gubernur atau setidaknya seberapa banyak dukungan para “pengusaha politik” yang mendukung calon. Calon harus mengeluarkan banyak uang agar dipilih.
Sedemikian kotor dan rusakkah jagat perpolitikan kita?
Tapi sejelek apapun DPR kita, merekalah yang menyususn Undang-undang yang akan mengatur kita berbangsa dan bernegara.  
Bahkan dibeberapa fakta dilapangan, uang yang dikeluarkan calon merupakan tuntutan masyarakat, pemilih tidak mau berangkat ke tempat-tempat pemilihan kalau tidak diberi sogokan/uang oleh calon. Calon seakan dipaksa oleh masyarakat untuk membagi uang kepada para pemilih/masyarakat. Siapa yang memberi uang, maka dia yang akan di coblos.
Kalau dulu money politik atas inisiatif murni pihak calon. Akan tetapi sekarang ini masyarakat kita (khususnya masa mengambang/mayoritas) justru secara sadar atau tidak sadar melegalkan politik uang. Pelaku politik (calon) dipaksa untuk membagi-bagi “rejeki” yang akan diperoleh saat menjadi pemimpin nanti, bukan tuntutan kebijakan yang bisa mensejahterakan masyarakat kelak tetapi yang penting sekarang 'saya dapat uang' dan saya tidak peduli saat dia memimpin. 
Kalau ini menjadi budaya dimasyaralat kita, tidakkah keterbukaan dengan azas demokrasi menjadi tercerai berai??