Aktivis
adalah sebutan lain bagi mahasiswa yang dirinya selalu aktif di organisasi,
baik itu organisasi intra maupun organisasi ekstra. Namun, ada juga dari
sebagian mahasiswa yang hanya datang, pulang dan pergi ke kampus layaknya
“seekor kupu-kupu” sebatas hanya duduk manis di kelas menerima materi dari
dosen juga mengerjakan dan mengumpulkan tugas yang telah diberikan oleh dosen
di kampusnya.
Banyak orang
bilang, seorang aktivis harus mampu menjalani hidup tanpa tergantung pada
sesuatu “oran lain”. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pembicaraan bagi
orang banyak, lalu bagaimanakah kaum-kaum aktivis ini menjalani hidup sedangkan
mereka tidak bekerja dan tidak pula di gaji namun di dalam jiwa mereka hanya
tertanam satu niatan untuk organisasinya dan suatu kepentingan menyangkut orang
banyak, tidak banyak kaum-kaum aktivis di negeri ini bahkan sangat
memprihatinkan ketika melihat fakta di lapangan mereka di ibaratkan seorang
pengemis yang kehidupannya tergantung pada adanya bantuan dari orang lain, dan
hampir semua kaum-kaum aktivis melakukan sebuah komunikasi politik baik itu
dengan pemerintah maupun perorangan melalui kegiatan organisasinya dan bisa
dikatakan pragmatisme.
Pragmatisme
berasal dari bahasa Yunani “Pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan,
“Isme” yaitu sebuah aliran atau faham, dengan demikian dapat diartikan bahwa
yang di maksud dengan pragmatisme adalah suatu aliran atau faham yang
menekankan pada suatu tindakan nyata dengan kriteria kebenarannya adalah
mengandung sebuah faedah dan manfaat bagi dirinya, suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh faham pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata
lain teori itu akan benar apabila teori tersebut dapat di aplikasikan dalam
kehidupan yang nyata dan membuahkan hasil serta manfaat bagi dirinya.
Dalam
dunia aktivis, mahasiswa adalah manusia paripurna (manusia yang sempurna). Mahasiswa
sebagai agen of change juga sebagai agen of control, selain itu mahasiswa juga
mempunyai tanggung jawab moral terhadap bangsa dan negara ini dalam mengawali
sebuah perubahan yang baik bagi masyarakat indonesia, yang di anggap sebagai
generasi penerus bangsa, namun dalam prakteknya mahasiswa pasca reformasi
pemerintahan soeharto muncul banyak komunitas-komunitas kecil yang tergabung
dalam organisasi kepemudaan sampai keranah organisasi perpolitikan, dan
kemudian munculah sebutan aktivis sebagai karakter dari mahasiswa yang aktiv
dalam kegiatan organisasi, mereka menginginkan dirinya juga diakui oleh
masyarakat luas, namun seiring dengan perkembangan zaman mahasiswa yang
menyatakan dirinya sebagai aktivis kampus mulai dihadapkan pada suatu kondisi
krisis kepercayaan terhadap tanggung jawab dalam mengemban sebuah amanah dalam
oraganisasinya, aktivis mulai mencari keuntungan dari organisasi akibat dari
faktor komunikasi politik dengan para kelompok-kelompok yang mempunyai
kepentingan di negara ini, dengan cara menjual organisasinya hanya untuk
mencari keuntungan yang bersifat kepentingan pribadi, sehingga kondisi seperti
ini berdampak negatif bagi organisasi yang seharusnya menyangkut kepentingan
orang banyak namun berubah menjadi kepentingan pribadi, program kegiatan
organisasi hanya di jadikan sebuah sarana untuk mencari keuntungan baik itu
kepada pemerintah maupun perorangan yang kemudian dapat memberikan keuntungan
timbal balik baik itu bagi aktivis maupun kepada pemerintah, komunikasi yang di
lakukan oleh aktivis dalam mencari keuntungan lewat organisasi adalah
komunikasi inter personal yang kemudian di jadikan sebuah alasan sebagai
kepentingan organisasi, padahal itu semua adalah kepentingan pribadi aktivis
yang bersifat pragmatis oleh karena itu sifat pragmatis aktivis dalam
organisasi pasti selalu ada karena bagi aktivis organisasi adalah sarana untuk
memenuhi kebutuhan pribadinya yang bersifat individual.
Sebuah
pengalaman pribadi atau survey dilapangan yang tidak pernah di lupakan oleh
para aktivis pasti mereka tidak bisa dilepaskan dari namanya proposal kegiatan
dari organisasi, aktivis mana yang dalam hidupnya ketika di organisasi tidak
pernah membuat atau membawa proposal. Karena memang organisasi dan aktivis
tergantung pada hasil proposal, artinya proposal di jadikan sarana administrasi
untuk menggalang dana organisasi dari pihak-pihak tertentu, baik kepada
instansi pemerintah, anggota DPR maupun perusahaan, itulah yang kemudian
menjadi kebiasaan di kalangan aktivis sampai saat ini, pertanyaannya adalah
apakah bisa organisasi dan aktivis tanpa proposal, saya kira tidak akan bisa
karena proposal adalah syarat utama untuk mendapatkan dana dari pihak tertentu,
makanya aktivis yang pandai dalam membuat proposal sedikit banyak mereka pasti
pernah pragmatis, artinya mereka pasti pernah mengambil keuntungan dari hasil
proposal organisasi entah sedikit dan banyak pasti pernah melakukannya,
biasanya tindakan ini sudah terstruktur secara sistematis jadi tidak ada kata-kata
korup di dalamnya yang terlibat di dalamnya bukan hanya satu dan dua orang saja
namun sudah menyangkut orang banyak, tindakan seperti itu adalah motif yang
mendekatkan diri pada tindakan korup menyalahgunakan anggaran yang seharusnya
untuk kegiatan organisasi tapi malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya.