Apa sebenarnya nikmatnya bisa
kuliah?
Antara lain bisa mengembangkan
wawasan, menumbuhkan potensi berorganisasi dan kemampuan menajerial, melatih
ketajaman berpikir, menimba ilmu alam dan keIslaman, menjalin hubungan dengan
banyak pihak, dan lain-lain, maka nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat yang
cukup memberikan bekal bagi kehidupan mandiri pasca kuliah. Hal tersebut adalah
suatu prestasi yang tidak bisa dinilai kecil dan boleh jadi sangat mempengaruhi
langka-langkah kehidupan selanjutnya.
Ternyata untuk bisa kuliah dan
menjadi seorang yang berguna bagi nusa dan bangsa, tidaklah terlepas dari peran
atau doa sang Ibu. Dan yang harus diketahui, bahwa apa yang terjadi pada saya,
anda dan kita semua saat ini adalah buah dari langkah-langkah sang ibu di masa
lalunya. Sang ibu yang senantiasa menapaki jalan hidupnya di dalam kebaikan,
mencari rezeki halal demi masa depan anak-anaknya, rajin bermunajat di
penghujung malam mendoakan anak-anaknya, semua itu sangat mempengaruhi masa
depan anaknya.
Namun sebaliknya, andaikan sang
ibu mencari rezeki dari jalan yang buruk, suka memberikan kata-kata kasar dan
buruk kepada anaknya, memarahi dan memukuli anaknya, dan segala kegiatan
beratribut buruk lainnya, maka akan berpengaruh pada perilaku anaknya. Ia akan
menjadi buruk baik secara pemikiran maupun akhlak. Dan boleh jadi semua itu
menjadi biang ketidakberhasilannya dalam bangku pendidikan. Tidaklah mungkin
suatu output yang buruk, baik secara kognitif (keilmuan), afeksi (moralitas), dan konatif(operasional),
dihasilkan dari suatu input yang baik. Sudah menjadi fakta empiris bahwa output
yang buruk dihasilkan dari input yang buruk juga. Istilah kerennya adalah “garbage in garbage out”.
Anak-anak yang susah sekali
diajak kepada jalan kebaikan, yang suka berhura-hura, yang berkata kotor, yang
bermental preman, mimum-minuman keras, memakai narkoba, dan lain-lain, boleh
jadi disebabkan oleh langkah dari ibu-ibu mereka yang kurang tepat di masa
lalu. Dan tentu saja, ini tidak mengke sampingkan peran ayah sebagai pemimpin
bagi ibu dan anak-anak.
Suatu ketika ada seseorang yang
datang menghadap Rasulullah Saw meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama
Rasulullah Saw, maka beliau bertanya, “Adakah engkau masih memiliki ibu?”. Orang itu menjawab, “Ya, Masih. ” Kemudian beliau bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam
berbakti kepada ibumu. Karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua
kakinya”.
“Surga di bawah telapak kaki Ibu”, demikian petikan bunyi hadits yang sering kita dengar sebagai
ungkapan yang sering disitir banyak orang.
Pertanyaanya, Bagaimana kita
mengartikannya?
Banyak orang mengambil pelajaran
tentang kewajiban setiap anak untuk berbakti kepada ibunya (orang tua)
mengingat jasa ibu yang demikian teramat besar bagi sang anak. Jasa ibu yang
demikian besar tidak bisa dibalas oleh seorang anak, walau dengan emas dan
permata setinggi gunung sekalipun. Pemahaman yang demikian penting diresapi
bagi ‘seorang anak’ agar ia mampu mengoptimalkan kebaktiannya kepada ibunya
(orang tuanya).
Namun seringkali seorang anak
tidak selamanya hanya berperan sebagai anak yang senantiasa diliputi pikiran
untuk berbakti kepada ibu-(orang tua)-nya. Jika ia seorang anak laki-laki yang
sudah beristri dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan pendidikan isteri dan
anak-anaknya. Jika ia seorang isteri yang telah bersuami dan beranak, maka ia
wajib pula memikirkan kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya.
Dan hadits “Surga di bawah
telapak kaki Ibu” itu menyimpan sisi hikmah yang agung bagi seorang ibu
agar menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya karena
kebaikan sang anak (surga) tergantung dari langkah kaki (upaya pendidikan) dari
ibunya.
Seorang ibu yang selalu
menapakkan langkahnya menuju kemaksiatan, maka sentuhan pendidikannya adalah
penuh kemaksiatan. Kemaksiatan yang tertanam pada seorang anak ini bisa
menghantarkannya kepada neraka.
Contoh kecil saja bagaimana
seorang ibu yang senantiasa berdusta kemudian ia memberikan sentuhan pendidikan
kepada anaknya pun dengan dusta. Maka wajarlah jika kebiasaan dusta itu menurun
kepada seorang anak. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda barang siapa yang
berkata dusta, maka kedustaannya itu akan menghantarkannya pada keburukan, dan
keburukan itu akan menghantarkannya pada api neraka.
Alangkah indah jika ungkapan di
atas dipahami secara bijak oleh seorang anak dan juga seorang Ibu. Seorang anak
lebih melihat kepada 'kewajiban berbakti' dan seorang ibu akan lebih melihat
kepada 'kewajiban mendidik'. Insya Allah jika demikian adanya, maka tidak akan
pernah terjadi konflik yang mempertentangkan antara orang tua dan anak.
Sebaliknya, suasana kehidupan keluarga terasa sangat kondusif buat
menumbuh-suburkan potensi kebajikan yang akan menghantarkan mereka semua kepada
surga Allah nan abadi kenikmatannya.
Saat ini kita melihat peran
seorang ibu yang demikian strategis itu banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh
sebagian para Ibu. Mereka lebih suka mengerjakan tugas lain selain tugas
merawat dan mendidik anak. Seharusnya, bagaimana pun kesibukannya pekerjaan
merawat dan mendidik anak adalah pekerjaan prioritas di atas pekerjaan yang
lain. Tugas merawat dan mendidik anak bukanlah pekerjaan sepele. Dia
membutuhkan profesionalitas.
Bagaimana tidak?
Tugas yang mengantarkan pada
pencapaian sumber kebahagian yang semu saja (duniawi) membutuhkan
profesionalitas, bagaimana dengan tugas yang menghantarkan pada kekuatan
generasi yang menghantarkan pada kekuatan ummat?
Padahal di dalam kekuatan ummat
itulah potensi-potensi kebajikan yang menghantarkan pada kebahagian abadi
(surga) bisa dioptimalkan. Jelas bahwa tugas demikian sangat membutuhkan
profesionalitas, bahkan sangat ditekankan.
Fenomena penyimpangan perilaku
sang anak yang kemudian ditelusur ternyata akibat pendidikan yang salah dari
orang tua, menyadarkan akan kebenaran bahwa ‘surga sang anak itu memang berada
di bawah telapak kaki ibunya. ’ Keberhasilan seseorang merupakan berkat didikan
kerja keras ibunya. Dan akhlakul karimah dari seorang anak yang akan menghantarkanya
ke surga akhirat, adalah berkat didikan dari ibunya juga.
Semoga kita bisa mengoptimalkan
rasa bakti kita pada orang tua kita pada satu sisi, dan mengoptimalkan daya
didik kepada anak-anak kita pada sisi lainnya. Semua harus dijalankan secara
terpadu, seimbang dan harmonis, demi lahirnya potensi-potensi kebaikan yang
menghantarkan ke surga. Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar