Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui
perwakilan (demokrasi perwakilan).
Demokrasi bisa juga diartikan sebagai "pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di
tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi,
keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai
respon kepada masyarakat umum di suatu negara yang ingin menyuarakan pendapat
mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga
mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti feodalisme dan anti imperialisme,
dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Landasan dari demokrasi
adalah keadilan, dalam artian terbukanya peluang kepada semua orang, dan
berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk
mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap
orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak
tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai
hal tersebut.
Namun seiring berjalanya waktu, sistem demokrasi yang ada di
Indonesia sudah kehilangan arah tujuan demokrasi yang sebenarnya. Banyak faktor-faktor
yang menyebabkan ruh dari demokrasi di negeri ini mulai sirna dan terkesan kehilangan
eksistensinya
Menurut hemat
saya, ada dua faktor yang menyebabkan demokrasi bisa mengalami kegagalan,
yaitu:
1.
Disfungsionalitas
2. Degenerasi atau pembusukan dari dalam yang
terus menerus secara gradual namun pasti yang pada akhirnya membuat demokrasi
gagal.
Dalam 14 tahun terakhir ini, Indonesia masih
terus menapaki jalan demokrasi. Dalam mengevaluasi proses perjalanan itu, ada
dua pendapat besar yang selalu muncul dan mengemuka:
Pertama, mereka yang beranggapan bahwa proses
demokrasi kita sudah mengarah pada kemajuan dan, karena itu, akan menjadi
contoh bagi negara-negara lain di dunia.
Kedua, demokrasi kita sekarang ini berjalan pada
arah yang salah, sudah kebablasan, sehingga perlu dikoreksi kembali.
Demokrasi yang disfungsionalitas tidak memberi
manfaat dan sering diikuti delegitimasi atau hilanganya kepercayaan rakyat. Sejak
satu dekade terakhir, ekspektasi rakyat terhadap kemajuan demokrasi semakin
nihil. Sekarang ini muncul sebuah gejala yang sangat umum dan nyata; krisis
kepercayaan terhadap politik, partai dan politisi.
Akan tetapi, kenyataan itu justru memperkuat
pernyataan bahwa demokrasi liberal memang diperlukan untuk menjaga kelangsungan
neoliberalisme. Jika kediktatoran militer memukul partisipasi rakyat dengan
kekerasan, maka demokrasi liberal menjauhkan rakyat dari politik dengan menebarkan
apatisme dan sinisme terhadap politik. Artinya, proses ketidak-percayaan rakyat
terhadap demokrasi yang kian besar itu adalah sebuah kondisi yang diperlukan
oleh sistem neolibralisme untuk tetap bekerja.
Apabila mekanisme seperti tadi masuk dalam
ranah politik, maka demokrasi akan kehilangan alasan eksistensinya. Begitu
suara rakyat dikemas menjadi komoditi ekonomi yang ditawarkan maka demokrasi
kehilangan landasan idealnya. Vox
populi vox dei tidak
berlaku lagi.
Kini, mereka calon para pemimpin-pemimpin atau wakil
rakyat mestinya merayakan lahirnya kompetisi politik yang tidak dilandasi oleh
seperangkat ide dan gagasan, melainkan oleh uang dan penampilan verbalistik
semata. Bukankah itu yang mereka inginkan? Matinya nasionalisme, sosialisme,
fundamentalisme, dan semua isme-isme yang menghalangi kapitalisme.
Dulu, di tahun 1959, Bung Karno mengutuk
demokrasi liberal. “Bukan free
fight liberalism yang
harus kita pakai, melainkan suatu demokrasi yang mengandum manajemen menuju
arah mencapai tujuan yang satu, yaitu masyarakat keadilan sosial,” begitu kata
Bung Karno.
Keberadaan partai politik
merupakan salah satu pilar demokrasi. Dalam struktur negara yang mengadopsi
demokrasi keberadaan parpol tidak bisa diabaikan peran dan fungsinya.
Saat ini setiap parpol sedang sibuk mempersiapkan
administrasi sebagai syarat sebagai bakal calon anggota legislatif, mulai DPRD
Kab/Kota, DPRD Propinsi maupun DPR.
Beberapa penelitian yang
disebutkan dalam media masa menyebutkan DPRD/DPR merupakan salah satu lembaga
sarang koruptor di negeri ini, sehingga masyarakat sudah mulai acuh terhadap
keberadaan parpol. Sekalipun tidak semua parpol tetapi masyarakat kita sudang
terlanjur menge'cap' anggota dewan semua sama. Ketidak percayaan masyarakat ini
berdampak pada sikap acuh masyarakat untuk terlibat dalam setiap event
pemilihan (baik pemilu raya, pilbub, pilgub). Banyak media masa menyebutkan di
beberapa tempat berlangsungnya pilbup maupun pilgub yang terjadi diberbagai
daerah banyak diwarnai oleh politik uang, uanglah yang menjadi
panglima.untuk memenangkan sebuah event pemilihan selalu diukur dengan seberapa
banyak uang yang dimiliki oleh calon Bupati/Gubernur atau setidaknya seberapa
banyak dukungan para “pengusaha politik” yang mendukung calon. Calon
harus mengeluarkan banyak uang agar dipilih.
Sedemikian kotor dan rusakkah
jagat perpolitikan kita?
Tapi sejelek apapun DPR kita,
merekalah yang menyususn Undang-undang yang akan mengatur kita berbangsa dan
bernegara.
Bahkan dibeberapa fakta
dilapangan, uang yang dikeluarkan calon merupakan tuntutan masyarakat, pemilih
tidak mau berangkat ke tempat-tempat pemilihan kalau tidak diberi sogokan/uang
oleh calon. Calon seakan dipaksa oleh masyarakat untuk membagi uang kepada para
pemilih/masyarakat. Siapa yang memberi uang, maka dia yang akan di coblos.
Kalau dulu money politik atas
inisiatif murni pihak calon. Akan tetapi sekarang ini masyarakat kita
(khususnya masa mengambang/mayoritas) justru secara sadar atau tidak sadar
melegalkan politik uang. Pelaku politik (calon) dipaksa untuk membagi-bagi “rejeki”
yang akan diperoleh saat menjadi pemimpin nanti, bukan tuntutan kebijakan
yang bisa mensejahterakan masyarakat kelak tetapi yang penting sekarang 'saya
dapat uang' dan saya tidak peduli saat dia memimpin.
Kalau ini menjadi budaya
dimasyaralat kita, tidakkah keterbukaan dengan azas demokrasi menjadi
tercerai berai??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar