Kamis, 24 Mei 2012

Hilangnya Ruh Demokrasi "Demokrasi Dapat Dibeli Dengan Uang"


Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).
Demokrasi bisa juga diartikan sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di suatu negara yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti feodalisme dan anti imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Landasan dari demokrasi adalah keadilan, dalam artian terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
Namun seiring berjalanya waktu, sistem demokrasi yang ada di Indonesia sudah kehilangan arah tujuan demokrasi yang sebenarnya. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ruh dari demokrasi di negeri ini mulai sirna dan terkesan kehilangan eksistensinya  
Menurut hemat saya, ada dua faktor yang menyebabkan demokrasi bisa mengalami kegagalan, yaitu:
1.      Disfungsionalitas
2.     Degenerasi atau pembusukan dari dalam yang terus menerus secara gradual namun pasti yang pada akhirnya membuat demokrasi gagal.
Dalam 14 tahun terakhir ini, Indonesia masih terus menapaki jalan demokrasi. Dalam mengevaluasi proses perjalanan itu, ada dua pendapat besar yang selalu muncul dan mengemuka: 
Pertama, mereka yang beranggapan bahwa proses demokrasi kita sudah mengarah pada kemajuan dan, karena itu, akan menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia.
Kedua, demokrasi kita sekarang ini berjalan pada arah yang salah, sudah kebablasan, sehingga perlu dikoreksi kembali.
Demokrasi yang disfungsionalitas tidak memberi manfaat dan sering diikuti delegitimasi atau hilanganya kepercayaan rakyat. Sejak satu dekade terakhir, ekspektasi rakyat terhadap kemajuan demokrasi semakin nihil. Sekarang ini muncul sebuah gejala yang sangat umum dan nyata; krisis kepercayaan terhadap politik, partai dan politisi.
Akan tetapi, kenyataan itu justru memperkuat pernyataan bahwa demokrasi liberal memang diperlukan untuk menjaga kelangsungan neoliberalisme. Jika kediktatoran militer memukul partisipasi rakyat dengan kekerasan, maka demokrasi liberal menjauhkan rakyat dari politik dengan menebarkan apatisme dan sinisme terhadap politik. Artinya, proses ketidak-percayaan rakyat terhadap demokrasi yang kian besar itu adalah sebuah kondisi yang diperlukan oleh sistem neolibralisme untuk tetap bekerja.
Apabila mekanisme seperti tadi masuk dalam ranah politik, maka demokrasi akan kehilangan alasan eksistensinya. Begitu suara rakyat dikemas menjadi komoditi ekonomi yang ditawarkan maka demokrasi kehilangan landasan idealnya. Vox populi vox dei tidak berlaku lagi.
Kini, mereka calon para pemimpin-pemimpin atau wakil rakyat mestinya merayakan lahirnya kompetisi politik yang tidak dilandasi oleh seperangkat ide dan gagasan, melainkan oleh uang dan penampilan verbalistik semata. Bukankah itu yang mereka inginkan? Matinya nasionalisme, sosialisme, fundamentalisme, dan semua isme-isme yang menghalangi kapitalisme.
Dulu, di tahun 1959, Bung Karno mengutuk demokrasi liberal. “Bukan free fight liberalism yang harus kita pakai, melainkan suatu demokrasi yang mengandum manajemen menuju arah mencapai tujuan yang satu, yaitu masyarakat keadilan sosial,” begitu kata Bung Karno.
Keberadaan partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Dalam struktur negara yang mengadopsi demokrasi keberadaan parpol tidak bisa diabaikan peran dan fungsinya.
Saat ini setiap parpol sedang sibuk mempersiapkan administrasi sebagai syarat sebagai bakal calon anggota legislatif, mulai DPRD Kab/Kota, DPRD Propinsi maupun DPR.
Beberapa penelitian yang disebutkan dalam media masa menyebutkan DPRD/DPR merupakan salah satu lembaga sarang koruptor di negeri ini, sehingga masyarakat sudah mulai acuh terhadap keberadaan parpol. Sekalipun tidak semua parpol tetapi masyarakat kita sudang terlanjur menge'cap' anggota dewan semua sama. Ketidak percayaan masyarakat ini berdampak pada sikap acuh masyarakat untuk terlibat dalam setiap event pemilihan (baik pemilu raya, pilbub, pilgub). Banyak media masa menyebutkan di beberapa tempat berlangsungnya pilbup maupun pilgub yang terjadi diberbagai daerah  banyak diwarnai oleh politik uang, uanglah yang menjadi panglima.untuk memenangkan sebuah event pemilihan selalu diukur dengan seberapa banyak uang yang dimiliki oleh calon Bupati/Gubernur atau setidaknya seberapa banyak dukungan para “pengusaha politik” yang mendukung calon. Calon harus mengeluarkan banyak uang agar dipilih.
Sedemikian kotor dan rusakkah jagat perpolitikan kita?
Tapi sejelek apapun DPR kita, merekalah yang menyususn Undang-undang yang akan mengatur kita berbangsa dan bernegara.  
Bahkan dibeberapa fakta dilapangan, uang yang dikeluarkan calon merupakan tuntutan masyarakat, pemilih tidak mau berangkat ke tempat-tempat pemilihan kalau tidak diberi sogokan/uang oleh calon. Calon seakan dipaksa oleh masyarakat untuk membagi uang kepada para pemilih/masyarakat. Siapa yang memberi uang, maka dia yang akan di coblos.
Kalau dulu money politik atas inisiatif murni pihak calon. Akan tetapi sekarang ini masyarakat kita (khususnya masa mengambang/mayoritas) justru secara sadar atau tidak sadar melegalkan politik uang. Pelaku politik (calon) dipaksa untuk membagi-bagi “rejeki” yang akan diperoleh saat menjadi pemimpin nanti, bukan tuntutan kebijakan yang bisa mensejahterakan masyarakat kelak tetapi yang penting sekarang 'saya dapat uang' dan saya tidak peduli saat dia memimpin. 
Kalau ini menjadi budaya dimasyaralat kita, tidakkah keterbukaan dengan azas demokrasi menjadi tercerai berai??








Tidak ada komentar:

Posting Komentar