Jumat, 25 Mei 2012

Hasil UN "Tidak Bisa Menjadi Pedoman"


Dokumentasi UN 2012

Tingginya nilai standar kelulusan Ujian Nasonal, UN pada tahun ajaran 2011-2012, yakni dengan nilai terendah lima koma lima, untuk tingkat SMP, dan SMA, kini telah menjadi momok yang menakutkan  bagi setiap para siswa. Pasalnya dari penetapan standart nilai kelulusan ini, tidak sedikit siswa mengalami ketakutan, bahkan  stress.
Untuk selanjutnya disarankan agar pada tahun ajaran berikutnya, keputusan standar kelulusan ditentukan oleh dewan guru sekolah yang bersangkutan, sedangkan nilai standar Ujian Nasional hanyalah untuk membedakan kualitas nilai siswa. Karena selama ini, seolah-olah kelulusan para siswa hanya di tentukan oleh mata pelajaran yang diujikan dari pemerintah pusat.
Kemdikbud seharusnya mau merendahkan hati dan mempelajari akar permasalahan UN dengan seksama. Dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan merupakan momok dan pemicu terbesar terjadinya kecurangan. Terlebih, pembangunan pendidikan nasional yang belum dilakukan secara merata membuat banyak daerah tertinggal terpaksa curang demi memenuhi target kelulusan. Masalah menyontek tidak hanya melibatkan siswa, tapi juga para kepala daerah yang tidak ingin hasil UN di daerahnya rendah. Sehingga buntutnya, banyak kepala sekolah dan guru yang terpaksa terlibat dalam praktik kecurangan UN demi mencapi target yang telah ditentukan.
Hari ini sabtu 26 Mei 2012 tepat dimana pengumuman hasil ujian tingkat SMA dan sederajatnya seluruh Indonesia diumumkan. Maka secara langsung atau tidak langsung pihak sekolah, baik kepala sekolah, dewan guru dan siswa serta orang tua siswa mengalami saat-saat yang mendebarkan. Mengapa demikian?, ini dikarenakan mereka was-was dengan pengumuman hasil ujian siswa atau anak mereka kalaulah tidak lulus.
Kendatipun demikian presentase kelulusan yang tinggi tidak akan menjadi jaminan kwalitas dari peserta didik. Hal inilah yang harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk tidak selalu menentukan kelulusan siswa di negeri ini. Karena setiap daerah tidak sama antara sekolah satu dengan sekolah yang lainya “fasilitas, SDM pendidik, metode dan sarana prasarananya yang lainya”. Pemerintah dalam hal ini Mendikbud seharusnya menyerahkan penentuan nilai standarisasi kelulusan kepada pihak sekolah masing-masing, karena pihak sekolahlah yang mengetahui kemampuan siswanya masing-masing.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar